Aku anak laki-laki satu-satunya. Emak sangat menyayangiku. Aku lahir premature, sehingga emak sangat menjagaku. Sampai-sampai pada usia TK pun aku ke mana-mana masih pakai sepatu, kata emak,”Yusuf,,pakai dulu sepatunya kalau mau bermain ya, di luar itu kotor nanti kamu bisa sakit”. Sehingga aku selalu ditertawakan oleh teman-teman seusiaku karena selalu berpakaian lengkap untuk bermain. Aku minder. Maka akhirnya aku tak punya teman. Semua teman-temanku itu menjauhiku, karena aku tak sama dengan mereka. Aku berlari pulang, menangis dalam pelukan emak, dan emak pun menenangkanku sambil memberikan botol dot susu sampai tertidur.
Aku sangat dekat dengan emak. Bagiku emak segalanya. Berbeda dengan bapak yang seorang polisi, selalu memarahiku, merutuk aku, “Kau itu laki-lakii Yusuf, begitu saja menangis, anak macam apa kau ini”,katanya sambil menunjuk-nunjuk kepalaku. Aku benci sama bapak. Sama bencinya ketika aku melihat bapak memukul dan mencaci maki emak.
Sekali waktu aku melihat bapak menyeret emak yang menangis sambil meronta,”Ayo kamu mengaku saja, kamu ada main kan sama penjual sate keliling itu? Kamu selalu tertawa bahagia ketika membeli satenya, kamu sering berlama-lama ngobrol dengannya. Dasar perempuan! Sama brengseknya, tak bisa dipercaya!”, Plak! Aku melihat emak ditampar lagi dari sudut pintu kamar. Aku takut, aku benci sama bapak. Belakangan aku baru tahu ternyata bapak dulu pernah menikah dan dia memergoki istrinya sedang bermain di ranjangnya dengan laki-laki tetangga sebelah. Bapak menjadi sangat posesif. Pencemburu.
Usai bapak puas memukul dan mencaci maki emak, aku akan menghampiri emak dan memeluknya. Emak biasanya selalu bilang,”Yusuf, kamu tenang ya, emak tak apa-apa. Nanti kalau kamu besar jangan seperti bapak ya, saat ini bapak hanya sedang emosi saja. Nanti juga reda kok”. Aku hanya diam mendengar emak berceloteh. Aku memegang pipinya yang lebam dan sedikit berdarah. Aku iba sama emak.
Emak mau menikahi bapak karena bapak seorang polisi yang kaya. Emak anak tertua. Adiknya ada tujuh orang. Orang tua perempuan emak meninggal saat melahirkan adiknya yang ke tujuh. Dan bapaknya pergi meninggalkan mereka menikah lagi dengan janda kaya di kampung sebelah, sehingga emak berjuang sendiri membesarka adik-adiknya yang laki-laki semua pada usia 17 tahun.
Ketika adik-adiknya mulai tumbuh besar, biaya semakin besar pula. Emak yang waktu gadisnya menjual pakaian jadi di pasar Senen tak mencukupi untuk membiayai ke tujuh adiknya. Hingga akhirnya emak bertemu dengan seorang polisi di kantor pos ketika emak akan mengirim wesel pada empat orang adiknya yang sekolah di kampong. Emak seorangg perempuan yang sangat ramah, bisa ngobrol dengan siapa saja dengan akrab, begitu juga yang dilakukannya dengan bapak. Sehingga bapak jatuh cinta pada emak dan emakpun menerima lamaran bapak. Tiga orang adik emak tinggal bersama emak bahkan sampai emak menikah. Karena masih kecil, pun Badrun yang dibesarkan emak sejak lahir. Emak sangat menyayangi Badrun. Bahkan tali pusar Badrun dikubur emak di rumah tuanya di kampung sama dengan tali pusarku ditanam di rumah. Dengan tujuan agar kelak anak itu tidak pergi jauh dari orang tuanya. Agar orang tua tidak kesepian.
Saat aku kelas dua SMA, emak divonis kena stroke. Emak terkulai lemah. Emak tak bisa apa-apa. Aku sangat sedih. Aku lihat bapak tak sekeras dulu lagi sama emak. Tapi aku membencinya, seperti Oedipus yang membenci ayahnya yang dalam psikoanalisis klasik-nya Sigmund Freud ‘Oedipus Complex’. Aku semakin mencintai emak, tak mau lagi ada yang melukainya. Termasuk bapak, aku beberapa kali bertengkar dengan bapak, nyaris berkelahi dan emak melerai sehingga jatuh dari kursi roda. Untung emak tidak apa-apa. Sejak saat itu, bapak tak pernah lagi bersikap kasar pada emak. Bahkan ketika gempa mengguncang dengan kekuatan 9,8 R bapak menggendong bapak dan bilang sama emak begini,”kamu tenang ya, kalaupun kita mati, kita mati berdua ya”. Ah, bapak yang keras bisa juga sedikit romatis.
Setamat dari SMA aku kuliah di Padang. Aku seperti sedang mencari jati diri, semua organisasi aku masuki. Mulai dari musik, olahraga, politik, sampai ke pergerakan. Yang membuatku berjaya adalah pada organisasi pergerakan, aku bisa mencapai posisi tertinggi sebagai ketua. Aku pacaran serius dengan Lisa sekretarisku pada organisasi pergerakan yang kemudian dia menjadi jaksa. Emak tak merestui kami, karena Lisa pacarku yang jaksa itu anak sulung dari 11 bersaudara. Sepertinya emak sangat trauma dengan kehidupannya. Aku tak bisa memperoleh restu emak. Lisa tak ambil pusing, karena dia kebelet menikah, ya sudah dia enteng meninggalkanku. Seminggu setelah itu, bapak meninggal. Aku terpuruk dengan kejadian beruntun ini, orang terdekatku dan bapak yang kucoba untuk menjadi figur dalam hidupku telah pergi untuk selamanya.
Beberapa bulan kemudian aku kenal dengan Mirna yang pegawai di kantor walikota di kota Batiah, dan dia tinggal di rumah emak yang beberapa kamar dikoskan oleh emak. Emak sangat dekat dengan Mirna. Aku pikir bisa mencoba mendekatinya. Tapi kemudian aku berubah pikiran setelah aku tau Mirna bisa bekerja di kantor walikota itu lewat jalur belakang, bapaknya yang mantan preman punya kekuasaan pada pejabat yang berwenang di sana. Sesuatu yang didapat dengan cara yang tidak benar tidak akan bisa memberkahi apa-apa. Hal itu benar-benar aku benci, sama bencinya aku dengan bapak yang tega memukul dan mencaci maki istrinya sendiri dan setelah itu menyetubuhinya.
Kemudian aku bertemu dengan perempuan kecil yang beberapa tahun lalu pernah berdiskusi di kantor LSM ku dengan lantangnya, hingga aku meliriknya, tapi ah dia masih mahasiswi ingusan yang ikut bicara. Kami bertemu di toko buku terbesar di kota Padang. Perempuan kecil yang sudah menjadi dewasa itu bernama Nadine. Aku tak menyangka bertemu dengan Nadine yang tumbuh menjadi perempuan menarik, berbeda dengan yang aku lihat empat tahun lalu. Saat ini Nadine menjadi dosen di kampusnya dulu. Kami akhinya berpacaran dan berencana untuk menikah. Aku utarakan niatku itu pada emak. Di luar dugaanku, emak menentang rencana pernikahanku dengan alasan bahwa Nadine anak sulung dari delapan bersaudara. Dengan terbata-bata emak berkata“Aku tak mau kau susah seperti aku ini membesarkan adik-adik yang tak tahu terimakasih, sakit hatiku sampai sekarang, kalau kau menikah dengan Nadine, kau akan sengsara dan kau tak akan peduli lagi dengan aku. Siapa yang akan mengurusiku nanti ha?!”, emak akhirnya menangis.
Aku sangat kecewa dengan emak. Malamnya setelah emak tidur, aku menangis sendiri, menahan isakan tangis agar emak tak terbangun. Agar emak tak tahu kalau aku bersedih. Agar emak tak bersedih melihat aku yang sangat bersedih. Aku dan Nadine sudah sangat ingin menikah, dia menerima kondisi emak yang lumpuh itu, aku melihatnya sendiri mau memandikan emak ketika waktu itu emak masuk rumah sakit. Baru kali ini aku menangis semenjak remaja, bahkan ketika bapak meninggal pun aku tak menitikkan air mata setitikpun.
Besoknya aku bicara lagi sama emak untuk menikahi Nadine. Dan emak kejang-kejang, aku panik. Emak mengalami stroke ke dua. Aku menyesal. Rupanya bukan hanya karena perlakuan bapak sama emak yang membuat emak lumpuh, tapi juga pikirannya pada adik-adiknya yang tak tau balas budi. Emak kesepian. Sekarang aku membuat emak sakit lagi.
Di rumah sakit emak memintaku berjanji untuk menikahi Mirna di depan Nadine. Emak sangat sinis melihat Nadine. Tatapan kebenciannya pda Nadine sangat jelas kulihat berbeda ketika kulihat emak menatap Mirna. Aku bingung, aku tak tega melihat emak memelas lemah seperti itu. Aku melirik Nadine yang terkejut dan mencoba kuat. Emak kejang lagi, aku panik memanggil dokter. Setelah ditangani dokter emak bisa tenang. Dalam tidurnya emak mengigau,”Yusuf,,aku tak mau kau menikah dengan Nadine, nanti kau susah.. aku mau kau menikah dengan Mirna. Menikahlah kau sama Mirna, Yusuf..”, berkali-kali emak mengigau itu. Aku terduduk di lantai rumah sakit, menangis. Nadine menenangkan aku dan mengajakku bicara di luar.
“Yusuf, kondisi emak semakin memburuk karena hubungan kita, aku tak bisa melihatnya begini terus. Lebih baik kita berpisah”, Nadine bicara dengan mata yang mulai menganak sungai.
“Tidak Nadine, kamu tak boleh bicara begitu, kita masih punya waktu untuk meyakinkan emak, ini hanya masalah waktu Nadine..”,aku mencoba menenangkan Nadine.
“Sadarilah Yusuf, kita sudah berjuang selama ini untuk mendapatkan restu emak, aku ingin melihat emak bahagia di penghujung usianya. Penuhi permintaan emak Yusuf, menikahlah dengan Mirna, dia gadis yang baik”,pinta Nadine.
“Nadine, aku tak bisa. Kamu jangan menyerah. Kita masih bisa berjuang”,aku memelas
“Bukannya aku menyerah Yusuf, kondisi emak semakin memburuk, aku tak mau lebih parah lagi. Sudah sangat jelas emak menginginkanmu menikah dengan Mirna”, Nadine bicara dengan hati yang luluh. Dia menangis. Aku memeluknya.
“Yusuf, kita pernah merangkai asa untuk pergi ke negara yang ada saljunya dan bercinta dengan dinginnya malam”, Nadine mengulang janji kami dulu sambil melepas syal merah marun yang melilit di leher jenjangnya.
“Simpanlah syal ini, aku yakin kita akan bertemu suatu saat. Jaga emak baik-baik ya, bahagiakanlah emak”, Nadine kemudian berlalu dari rumah sakit. Aku tak bisa menghalanginya. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bisa menghubungi Nadine. Bahkan ketika aku menemuinya ke rumah orang tuanya, orang tuanya hanya meminta aku untuk tidak menghubungi Nadine lagi. Dia seperti menutup dirinya untukku.
Emak mulai pulih. Emak mesti menjalani terapi lagi sekali seminggu ke rumah sakit. Emak terus-terusan memintaku menikah dengan Mirna. Akhirnya aku memenuhi permintaannya setelah enam bulan berpisah dengan Nadine.
Menikah dengan Mirna adalah mimpi burukku sama ketika berpisah dengan Nadine. Kemolekan tubuh Mitrna tak mampu membuatku panas di ranjang. Aku kasihan dengan Mirna.
“Abang, kenapa kau lakukan ini padaku, apa salahku?”, begitu ratap Mirna pada suatu malam padaku.
“Mirna, dari awal aku sudah katakan bahwa aku tak bisa mencintaimu dan aku tak bisa menikahimu, kamu sendiri kan yang bilang bahwa waktu bisa mengubahnya? Ternyata tak bisa, aku tak bisa mencintaimu Mirna”, aku menjawab dengan sesal yang menyesak.
“Kenapa abang tak bisa melupakan perempuan itu?”, teriak Mirna padaku
“Perempuan yang mana?”, tanyaku heran
“Itu Nadine yang sering diceritakan emak, perempuan yang dibenci emak”,jawab Mirna
“Bukan urusanmu. Aku sudah menikahimu dan jelas aku tak bisa memenuhi kebutuhan biologismu. Aku sudah mencoba, tetap aku tak bisa”, aku kembali menegaskan
“Apa maksudmu bang, apa kamu akan menceraikan aku?”, tanya Mirna dengan tangis yang menjadi
“Ya, sebaiknya kita bercerai. Aku tak mau lagi berdosa dengan tidak bisa menjalankan kewajibanku sebagai suami. Masih banyak laki-laki lain yang menginginkanmu. Kamu pilih saja salah satu dari mereka. Hidupmu akan bahagia”,aku menjelaskan pada Mirna dengan keberanian yang aku punya.
Selama lima bulan kami menikah, akhirnya kami bercerai, dan emak menangis. Emak hanya berdiam diri setiap hari. Aku minta maaf sama emak. Emak tetap diam. Seminggu emak begitu terus, badannya semakin kurus. Aku merasa bersalah, takut kondisi emak akan buruk lagi.
Besoknya emak mengeluarkan daster bermotif mawar merah dari lemarinya. Emak pergi ke kamar dan aku lihat emak mengenakan daster itu.
“Aku tau kau masih menginginkan perempuan yang memberikan daster ini padaku”,kata emak terbata-bata.
“Maksudnya Nadine, mak?”,tanyaku balik.
“Ya”,jawab emak menerawang.
“Di mana dia sekarang, dia pintar memasak, aku suka masakannya”, emak mengingat Nadine.
“Sudah hampir setahun, aku tak tau di mana Nadine sekarang”,jawabku
“Lakukanlah apa yang kamu mau sekarang. Aku tak bisa lagi memaksamu sesuai keinginanku. Aku tahu kamu sudah sepantasnya memilih pendampingmu sesuai dengan keinginanmu”, emak seperti pasrah, tapi tak kulihat wajah marah di wajahnya. Aku memeluk emak.
Emak bercerita bahwa selama ini dia sangat kecewa dengan adik-adiknya dan suaminya sehingga tak pernah memaafkan mereka. Hal itu membuat fisiknya bermasalah, dengan emosi yang selalu ditahan dan beban pikiran membuat tensi darahnya selalu tinggi. Hal itu pemicu emak menjadi stroke. Walau bapak sudah membuat rumah yang megah untuk emak yang dalam jurnal harian bapak kubaca, bapak menamai itu rumah hati, entah apa maknanya. Namun tak membuat kondisi berubah. Emak tetap sakit. Setiap kali emosiku tidak stabil, melihat kondisi emak mengingatkan aku pada prilaku bapak dulu. Emak juga bilang tak mau merasa kecewa juga dengan apa yang aku pilih dalam hidupku.
Kali ini emak sangat bahagia, emak bilang Badrun adik bungsunya yang setelah menikah tak pernah pulang lagi menemui emak, akan pulang kampung. Emak bilang Badrun bercerai dengan istrinya yang dari Sulawesi itu. Dan Badrun di usir. Besok Badrun pulang kata emak.
Jadi rumah megah ini yang disebut almarhum bapak sebagai rumah hati ini akan kedatangan adik kesayangan emak, Badrun. Emak seperti mendapatkan kebahagiaan hidupnya. Seperti tak ada beban di wajahnya.
Badrun adalah tukang kayu handal. Bebera bulan lalu aku membeli sebidang tanah di kawasan pinggir kota Padang, Lubuk Minturun namanya. Aku minta Badrun membantu membangun rumah kayu, seperti aku dan Nadine pernah cita-citakan. Ah, aku jadi ingat Nadine. Aku tak mau menghuni rumah hati peninggalan bapak. Aku ingin mencari kedamaian jiwa dengan rumah kayu yang kubangun. Ada banyak asa yang bisa kuraih dengan membuat rumah kayu itu. Selama tujuh bulan rumah kayu ini selesai berdasarkan rancanganku, eh bukan, ini rancangan yang pernah aku buat dengan Nadine. Ada saung di depan rumah kayu ini yang dibawahnya kolam ikan mas yang sesekali terdengar gemericik air. Di taman depan rumah aku tanam berbagai jenis mawar dan yang dominan adalah mawar merah. Aku juga menanam berbagai jenis anggrek. Dua bunga itu memiliki karakter yang sangat kuat menurutku. Nadine juga menyukai dua bunga ini. Aku tak bisa menemukan Nadine lagi. Bahkan aku tak berani lagi mencari Nadine ke rumah orang tuanya.
Amsterdam, 26 Desember 2015
Ini tahun ke dua aku di Belanda menyelesaikan Ph.D ku. Aku menyusuri jalan bersalju di antara kerlip pohon Natal. Aku tak merayakannya. Aku setengah berlari menuju kafe di ujung jalan. Baru saja aku mau mencari tempat duduk, aku rasanya mengenal perempuan di pojok kafe ini. Aku menghampirinya, ya, aku mengenalnya.
“Nadine?”, tanyaku
Perempuan itu melihatku.
“Yusuf,,?”, tanyanya tercengang
Kami bersalaman sambil menyunggingkan senyum bahagia.
“Apa kabar? Kenapa kamu bisa ada di sini Nadine? Apa kamu melanjutkan studi?”, aku memborong pertanyaan.
“Aku sedang short course di Norwegia dan sudah hampir selesai jadi aku bisa keliling eropa, dan hari ini di Amsterdam, kamu sendiri?”, jawab Nadine dengan senyum yang masing mengembang di wajahnya.
“Aku sedang menyelesaikan Ph.D ku di universitas Leiden, sudah hampir dua tahun”, jawabku sambil tak lepas menatapnya.
“Aku sangat senang bertemu denganmu”, aku mengungkapkan kebahagiaan bertemu dengannya
“Aku juga, tak disangka ya? Ini hari ulang tahunmu, aku ingin mengenangnya. Aku sedikit kesepian. Orang-orang merayakan Natal, eh tak taunya bertemu kamu di sini.. Selamat ulang tahun ya Yusuf….”
“Ya terimakasih kamu masih mengingatnya”, jawabku
“Wah, kamu masih menyimpan syal merah marun ini ya?”,tanya Nadine sambil melihat syal merah marun pemberiannya di leherku.
“Ya, begitulah, tak mungkin aku melupakanmu”, jawabku sambil menatapnya. Nadine tidak berubah, matanya masih bulat besar bersinar. Bibir penuhnya merekah merah dengan olesan lipgloss. Rasanya darahku mengalir kencang, jantungku berdegup cepat. Aku merasakan hormon kebahagiaan mengisi setiap aliran darah di seluruh tubuhku. Kami menceritakan diri masing-masing, ternyata Nadine belum menikah, dia sibuk dengan karirnya sebagai dosen dan konsultan pendidikan di Jakarta. Pantas saja tak pernah terdengar lagi dirinya di Padang.
Tidak terasa sudah jam 2 malam, hampir tujuh jam kami ngobrol. Kami menyusuri jalan bersalju mengantar Nadine ke hotel tempatku menginap. Sesampainya di hotel dengan badan yang masih kedinginan rasanya aku tak mau meninggalkannya.
“Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan, kamu kan baru hari ini datang ke Amsterdam, aku jemput jam 7 besok pagi, bagaimana?”, tanyaku pada Nadine
“Baiklah, sepertinya akan sangat menyenangkan”, Nadine menerima ajakanku.
Tapi kakiku tak kunjung beranjak kembali ke apartemenku. Aku masih menatap Nadine. Aku lihat Nadine tersenyum kikuk, entah kekuatan dari mana, tiba-tiba bibir kami berpagut.